Kamis, 02 Juli 2009

Meskipun terdapat kemudahan ini, secara rata-rata konsumsi ikan di Indonesia masih sekitar 24 kg/kap/th. Ini-pun sebenarnya merupakan angka ketersediaan, bukan angka konsumsi mutlak. Angka tersebut relatif rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura (85 kg/kap/th), Malaysia (45 kg/kap/th) atau Thailand (35 kg/kap/th). Memang untuk daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan atau daerah lain di Inonesia Timur ikan telah menjadi menu sehari-hari, namun di daerah lain ikan menjadi bahan pangan langka atau mahal atau bahkan merupakan menu yang kurang disukai.

Sebagai salah satu sumber keanekaragaman hayati, kita mempunyai ratusan jenis ikan baik dengan berbagai tingkat nilai ekonomi sebagai bahan pangan maupun non pangan. Sebagai bahan pangan salah satu kelemahan ikan adalah kerepotan yang dihadapi oleh ibu-ibu rumah tangga, terutama yang tidak terbiasa dengan ikan, dalam mempersiapkan masakan berbahan baku ikan. Keluhan dari ibu rumahtangga tersebut antara lain masalah membersihkan atau menyiangi ikan serta kadang-kadang masih dihadapkan dengan bau amis, baik selama preparasi maupun setelah jadi hidangan. Belum lagi bila tersandung masalah duri ikan, yang terkadang bisa membahayakan bila ikut termakan. Tidak mengherankan, kelompok ibu-ibu pekerja banyak yang menaruh ikan sebagai pilihan terakhir pada waktu berbelanja atau menentukan menu hidangan rumahtangga. Salah satu jalan untuk mengatasi hal tersebut adalah menyediakan ikan siap olah atau siap saji.

Selain halal dan keragaman jenis yang tinggi, keunggulan ikan yang lain adalah keleluasaan untuk disajikan dalam berbagai bentuk olahan. Sayangnya, keragaman produk olahan dalam negeri saat ini masih sangat terbatas. Melihat data statistik, tercatat bahwa sebagian besar hasil laut kita diolah menjadi produk tradisional seperti ikan asin, ikan pindang, ikan asap, kerupuk dan beberapa produk fermentasi. Produk yang dikategorikan modern dan juga banyak beredar adalah produk kaleng dan beku (terutama udang dan tuna). Dari beberapa jenis tersebut, yang dikategorikan siap saji teutama adalah ikan dalam kaleng. Namun, tidak semua menyukai ikan kaleng karena terbatasnya e rasa yang tersedia, yang umumnya hanya berkisar pada ikan kaleng dalam saus tomat, minyak atau larutan garam. Beruntung beberapa industri dalam negeri saat ini sudah banyak yang membuat variasi rasa untuk ikan kaleng misalnya dalam sambal bali, rendang, kari dsb. Namun tetap saja kosumsi ikan kaleng masih belum tinggi. Meskipun beberapa kelemahan yang menjadi keberatan dalam memasak ikan sudah dihilangkan, seperti penyiangan, pembersihan, bahkan tulang telah menjadi lunak, beberapa ibu rumah tangga masih menambahkan beberapa bumbu untuk mengolah ikan kaleng lebih lanjut, setidaknya ditambah bawang merah, bawang putih atau cabe, atau digoreng dengan dibungkus tepung atau telur.

Beberapa upaya dalam pengembangan produk untuk mempermudah penyajian ikan kini semakin banyak dilakukan oleh pengusaha ikan di dalam negeri. Jenis produk yang banyak beredar saat ini adalah bakso ikan dan sosis ikan. Kedua produk ini relatif amat mudah memasaknya, yaitu cukup dimasukkan kuah yang telah dibumbui sesuai selera atau langsung digoreng. Di kota-kota besar, keduanya sudah banyak dijumpai di pasar swalayan, bahkan pasar tradisional, dan mulai banyak digemari.

Bakso dan sosis pada dasarnya dibuat dari daging ikan murni yang telah dilumatkan, dengan bumbu, bahan lain dan cara seperti membuat bakso atau sosis daging sapi. Daging ikan lumat (minced fish) di beberapa sentra produksi ikan seperti Belitung, sudah banyak dibuat oleh pedagang pasar setempat. Salah satu bahan dasar yang digunakan untuk membuat adalah daging filet ikan. Usaha pemfiletan ikan banyak tersebar di kota Tegal, dan Indramayu, dengan cara yang sederhana, dan dikirim ke Jakarta bahkan Palembang, dengan di-es, untuk dibuat bakso atau empek-empek.

Sebagai bahan baku, filet masih mempunyai kelemahan yang kadang-kadang belum bisa diterima sepenuhnya oleh pengusaha bakso maupun konsumennya, yaitu masih adanya bau atau rasa amis. Bahkan bila ikan yang difilet sudah tidak segar, maka bau ini akan cenderung mengarah ke busuk sehingga sangat mempengaruhi kualitas bakso yang dihasilkan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan membuat daging ikan menjadi surimi, yaitu daging ikan lumat yang telah mengalami proses pencucian dalam air garam maupun air dingin berkali-kali sehingga protein larut airnya hilang. Dengan penambahan garam dan senyawa krioprotektan (senyawa untuk mencegah kerusakan karena pembekuan, misalnya sukrosa, sorbitol dan polifosfat) lumatan daging ini kemudian dibekukan dan selanjutnya siap untuk digunakan sebagai bahan baku berbagai produk ikan siap saji. Di Jepang, surimi banyak dibuat menjadi kamaboko, suatu makanan tradisional Jepang yang sangat khas dan terkenal.

Pada dasarnya proses pembuatan surimi memerlukan banyak air, serta banyak membuang senyawa larut air. Namun dengan teknologi penanganan dan pengolahan limbah yang tepat, senyawa tersebut dapat diunduh kembali untuk keperluan yang sesuai. Surimi juga membuka peluang pemanfaatan sumberdaya ikan yang dipandang tidak ekonomis, sekaligus memberikan kemudahan dalam pembuatan berbagai produk ikan. Produk dengan bahan baku surimi biasanya dikenal dengan sebutan fish jelly products. Di Jakarta selain bakso dan sosis ikan, produk ini dijumpai dalam berbagai sebutan dan jenis antara lain nuget ikan, breaded ikan, kue ikan, stik ikan, keong ikan, dan kaki naga yang semuanya sudah dibumbui dan siap untuk digoreng atau diolah lebih lanjut, tanpa rasa amis, tanpa repot. (Achmad Poernomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar